Minggu, 06 Desember 2015

Indonesia menuju Pasar Bebas, dulu ACFTA dan kini MEA

Akhir-akhir ini kita mendengar istilah MEA
Siapkah Indonesia menghadapi MEA?
Apakah dampak MEA bagi usaha kecil menengah kita?

Pertanyaan-pertanyaan itu sering muncul akhir-akhir ini di media massa maupun media sosial
Sebenarnya pertanyaan dan pembahasan ini mengingatkan kita saat dulu pro-kontra soal ACFTA. Bagaimana kita ketakutan melawan invansi produk China saat itu.
 
MEA dan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) adalah salah satu dampak globalisasi di dunia ini. 
Bagi kita, penerapan pasar bebas ini dapat dilihat segi positif dan negatifnya. 
Segi positifnya antara lain: pertama, masyarakat mendapatkan lebih banyak opsi/pilihan produk dan layanan. mereka dapat menikmati berbagai jenis barang dengan kualitas dan harga yang bersaing. Kedua, masyarakat mempunyai lebih banyak referensi jenis barang dan jasa dari lebih banyak produsen. Ketiga, kesempatan ekstensifikasi pasar, pemerintah maupun swasta dapat meningkatkan kegiatan dan volume perdagangan dalam negeri dan luar negeri. Keempat, mobilitas barang dan jasa serta manusia lebih bergairah sehingga mendorong peningkatan dan pemeliharaan infrastruktur. Kelima, jasa transportasi dan komunikasi akan berkembang pesat, dan banyak opportunity lainnya. 
Segi negatifnya antara lain: pertama, produksi dalam negeri mendapat persaingan yang semakin ketat. Kedua, merupakan ancaman bagi pelaku ekonomi dan bisnis domestik yang tidak efisien. Ketiga, ada kecenderungan beralihnya pelaku ekonomi produktif (memproduksi barang) ke usaha perdagangan (tengkulak). Keempat, peningkatan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) karena alasan efisiensi, dan sebagainya.
Kita bisa belajar dari masyarakat ekonomi Eropa (MEE) dimana mereka telah memiliki kekuatan luar biasa setelah terbentuknya pasar tunggal Eropa, mata uang tunggal, pembebasan tarif, dan keuntungan lainnya. Berarti untuk mewujudkan kemakmuran masyarakat kawasan Asia, salah satu bisa dimulai dengan ACFTA ini. Namun, sudah barang tentu masih banyak agenda untuk menuju ke kondisi seperti MEE tersebut. Berbagai kendala dalam hal ini akan tercermin dari banyaknya perbedaan antarnegara terutama ideologi, sistem politik, ekonomi, budaya, sosial, pertahanan dan keamanan


Beberapa sektor industri yang kena dampak, terutama industri-industri muda (infant industries) yang masih membutuhkan perlindungan, industri yang beroperasi tidak efisien, dan beberapa industri substitusi impor yang sangat dibutuhkan untuk proses produksi berikutnya. Menyimak beberapa industri yang akan tergilas tersebut di atas tentu beberapa komoditas yang berpotensi bakal tergilas antara lain beberapa hasil agro industri setengah jadi , tekstil, semen, elektronika, kimia, obat-obatan, dan lainnya. Sebenarnya masih banyak lagi kekhawatiran komoditi-komoditi Indonesia bakan tergilas oleh produk-produk China dan Negara-negara ASEAN lainnya. Hal ini tak dapat kita tampik melihatnya banyaknya jenis dan kuantitas produk China yang telah membanjiri pasar Indonesia akhir-akhir ini. Ironisnya lagi, seluruh barang impor China tersebut ditawarkan dengan harga yang sangat murah, bahkan lebih murah dari harga produk dalam negeri yang notabenenya tidak diatribusi biaya angkut dan pajak seperti halnya produk China tadi. 
Sistem mass production serta perlindungan pemerintah terhadap pertanian dan industri di negeri China sana mungkin adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kekuatan produk mereka. Namun kekuatan, kreativitas, daya tahan / surviving power, perekonomian serta  struktur industri Indonesia akan teruji dalam implementasi MEA /  ACFTA ini. 
Bagaimanapun kita harus berani berkompetisi. Ayo semangat!! Any comment? karena topik ini cukup menarik untuk didiskusikan, demi pengembangan kita bersama tentu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar